Selasa, 24 April 2012

Tantangan Kebudayaan Melayu Masa Kini

*M. Syafaat

Dunia Melayu sebagai puak kebudayaan dimasa lampau merupakan sebuah fakta kegemilangan sejarah yang tak terbantahkan. Serangkaian kisah keagungan dan kebesaran sebuah komunitas besar yang mendiami wilayah semenanjung. Seiring berkembangnya waktu dan sejarah peradaban manusia, Melayu sebagai puak yang sangat besar akhirnya terpecah dan terbelah menjadi dua kerajaan besar yaitu kerajaan Riau-Lingga dan kerajaan Johor-Pahang. Walau kerajaan ini memiliki kedaulatan masing-masing pada saat itu, hubungan sosial, ekonomi dan tentunya satunya kebudayaan mereka terus berlangsung melalui ikatan-ikatan tradisi yang berakar pada sentimen Melayu.

Menilik lebih dekat Melayu di masa kini, keadaan geografis memaksa mereka terpecah secara demografi dan terhalang oleh geografi batas teritorial negeri yang berdaulat. Terutama oleh empat wilayah kemelayuan yang sering kali dilabeli dengan istilah Melayu serumpun, yaitu Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia dan Indonesia khususnya Propinsi Riau (Daratan dan Kepulauan).

Secara umum ada dua hal yang menjadi tali pengikat puak Melayu hingga saat sekarang ini. Pertama, kesadaran akan kultural kemelayuan. Kedua, kesadaran keimanan yang dianut oleh mayoritas kaum Melayu. Nah, kedua hal inilah yang menjadi perekat secara emosional hingga menumbuhkan semangat dan sentimen yang sama, yaitu kesadaran kemelayuan. Persoalannya kemudian, bagaimana semangat kemelayuan yang kerap diberi label atas nama keserumpunan bergerak menjadi sebuah semangat membangun dunia Melayu dan menjaga otentitas kemelayuannya. Lalu bagaimana membangun kembali keagungan kebudayaan yang berkultur Islami ini diera kontemporer? Apakah itu tak sekedar romantika dan eforia masa lalu?

Untuk menjawab kegelisahan diatas, maka alangkah eloknya jika kita juga mereview ulang akan sejarah kemelayuan hingga peranannya diera sekarang, khususnya di bumi Melayu Lancang Kuning. Melayu di Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam tentu saja sangat berbeda dengan kultur dan sosio masyarakat Melayu Riau. Disinilah, Riau yang pernah menjadi pusat kebudayaan Melayu mempunyai posisi yang sangat strategis. Ia secara emosional, kultural dan sosial mempunyai ikatan tradisional yang tidak dapat dipisahkan dalam konteks puak Melayu. Oleh karena itu, masyarakat Melayu Riau harus kembali mampu menjadi pusat percontohan kebudayaan Melayu bagi negara Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Jadi, dengan posisi sejarah Melayu Riau yang seperti itu, maka Riau dapat memanfaatkan isu kemelayuan sebagai aset lokal, nasional sekaligus regional. Jadi atas nama kebudayaan Melayu, emosi kemelayuan dapat menjadi tali pengikat harapan dan cita-cita bersama, membangun kembali keagungan kebudayaan Melayu.



Fenomena Melayu Riau Hari ini

Riau sebagai Propinsi yang dulunya merupakan pusat kebudayaan Melayu dunia, hari ini harus mengakui bahwa modernisasi dan akulturasi budaya yang tak sehat akhirnya perlahan-lahan mengikis nilai-nilai yang terdapat dalam budaya Melayu. Cerminan nilai-nilai Islami yang mendasari budaya Melayu perlahan tapi pasti akhirnya luntur disebabkan oleh banyak faktor, terutama faktor internal masyarakat Melayu itu sendiri. Lihatlah sikap, sifat, watak dan etos kerja yang tertanam di dada anak melayu hari ini. Meski tak kita pungkiri fenomena diatas merupakan hal lumrah yang harus disikapi dengan arif dan bijaksana, namun harus segera ditemukan formula untuk kembali menanamkan nilai-nilai entitas Melayu itu sendiri kepada generasi pelanjut negeri.

Bukan hanya dilevel masyarakat bawah (grass root), problem kemelayuan juga menghinggapi pejabat pemerintahan (elite) kita. Budaya Melayu hari ini boleh dikatakan sebagai pemangku ritual yang digunakan sebagai formalitas dan seremoni acara belaka. Seharusnya budaya Melayu yang tumbuh dari spirit Islam bisa menjadi landasan dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau hari ini. Semangat kepahlawanan Hang Tuah misalnya hanya menjadi kisah favorit belaka tapi hampa akan nilai yang mampu digali oleh generasi Melayu sekarang, seharusnya spirit akan kepahlawanan, keagamaan, keterbukaan, keramah-tamahan, keuletan dan kerja keras seorang Hang Tuah saja mampu merubah peradaban masyarakat hari ini yang hampir jauh dari semangat dan nilai-nilai yang tercermin diatas. Budaya Melayu harus kembali booming dalam pribadi setiap insan Melayu. Sebagai contoh yang lain, prilaku politik orang-orang Melayu bisa dikatakan meyedihkan. Semangat individualisme, kesukuan dan fanatisme kedaerahan membuat Riau nyaris menjadi Propinsi terkaya di Indonesia yang jauh dari kata sejahtera. Lihatlah sebagian besar masyarakatnya masih hidup dibawah keterbelakangan dan kemiskinan. Padahal sangat tak patut, sebagai Propinsi yang menjadi penyumbang terbesar untuk APBN negara seharusnya juga berimbas dengan kesejahteraan msyarakatnya. Apakah ini karena kebodohan pemimpin nya atau memang karena faktor ketidakmampuan untuk mengelola kekayaan daerahnya.

Apa Gebrakan yang Harus Di Lakukan?

Banyak hal yang bisa dilakukan, dan pertanyaan terbesar adalah, harus memulai dari mana? Sebuah ide yang cemerlang untuk kembali mengangkat harkat dan martabat Melayu kedalam pribadi masyarakatnya dan kemudian diharapkan menjadi karakter yang tercermin dari perbuatan masyarakatnya adalah kembali membumikan bahasa Melayu. Pepatah lama mengatakan “Bahasa mencerminkan bangsa!” pepatah ini bisa berarti prilaku dan sikap budaya suatu masyarakat tercermin pula dari bahasa yang digunakannya. Jika memang budaya Melayu hendak dibumikan dan kita mencoba menggali potensi-potensinya, maka tidak lain, salah satu sarananya dapat dilakukan melalui membumikan bahasa Melayu. Penelitian yang mendalam tentang hal ini pernah dilakukan oleh Kees Groeneboer (1995) ia menyebutkan bahwa sejak tahun 1600-an tarik menarik pengaruh antara bahasa Portugis, Belanda dan Melayu justru pada akhirnya mengangkat bahasa Melayu ke taraf tertinggi. Sebagai puncaknya dijadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia.

Di level elit pemimpin Melayu, hal ini harus menjadi pertimbangan dan ide besar untuk bagaimana menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi di Asia Tenggara, bukankah negara-negara Melayu memainkan peranan sentral dan mendominasi dalam pergaulan di wilayah Asia Tenggara? Setidaknya bahasa Melayu dijadikan bahasa formal di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia, hingga orang-orang Melayu mampu memainkan peranannya sesuai kodrat dan tuntutan kemelayuannya. Sesuai dengan tuah sebuah pepatah Melayu “Menjadi Tuan di Negeri Sendiri” bukan menjadi penonton di kampung sendiri. Kita yang memiliki kekayaan dan sumberdaya tapi orang lain yang justru mengambil dan menikmatinya. Sebuah spirit untuk kembali membumikan budaya Melayu .

* Penulis , pemerhati masalah Melayu, Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar