Selasa, 24 April 2012

Mandulnya Sumpah Jabatan

oleh: M.Syafaat
 picture : detik.com


Genderang pesta demokrasi (demokracy party) semakin semarak menghiasi ibu pertiwi. Pergantian jabatan dan kepemimpinan sudah menjadi tradisi yang mengakar di republik ini. Entah berapa kali sudah pesta demokrasi itu dihelat, dan entah berapa kali pula pejabat publik itu di ganti. Namun apa lacur, perubahan dan perbaikan yang dinanti tak kunjung tiba.

Sejenak merenungi nasib bangsa yang tak pernah bahagia ini. Apakah kesalahan sistem yang digunakan untuk mengelola bangsa ini, atau pengelolanya yang memang tak tahu diri. Kekayaan alam yang melimpah ruah ternyata tak mampu menjadi modal mandiri mengelola negeri sendiri. Kerakusan pejabat mengakibatkan eksploitasi dan pengerukan sumber daya alam secara buas dan binal. Rakyat kecil tetap saja menjadi komoditi perahan untuk melanggengkan kekuasaan. Kemiskinan menjadi lahan basah tempat menabur mimpi dan janji palsu ketika pemilihan kepala daerah. Setelah mereka naik, janji tinggallah janji, para pejabat kembali menjadi keparat karena memang tak punya niat untuk melakukan perbaikan buat negerinya sendiri.

Sumpah Jabatan; kesakralan yang disepelekan
Seringkali sesuatu yang sakti dan sakral sekarang sudah menjadi mainan. Padahal dibalik kesakralan sesuatu itu terkandung nilai dan esensi (value mores) yang mengikat dan mengakar. Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia ini sangat mensakralkan sumpah dan hal-hal sakral lainnya. Bahkan Islam mencela orang yang bersumpah untuk sebuah kepalsuan. Pelakunya bahkan diancam dengan neraka dan siksa. Sungguh sumpah adalah sebuah kesakralan yang beresiko tinggi jika diabaikan dan dipermainkan.

Kekuasaan terkadang melenakan. Orang yang sudah merasakan nikmatnya berkuasa terkadang enggan turun dari singgasana kebesarannya. Ia bahkan tak perduli rakyat yang dipimpinnya sudah muak dan bosan dengan kepemimpinannya yang mandul dan tak mampu melakukan perubahan.

Pejabat sebagai seseorang yang diangkat oleh rakyat semestinya menjalankan kewenangannya dengan amanah dan profesional. Pejabat sebagai kepercayaan publik semestinya juga sadar bahwa kekuasaan dan jabatan itu hanyalah amanah dan titipan yang kelak akan dia pertanggung–jawabkan. Bahkan ketika ia dilantik sebagai pejabat, ada ritual sumpah jabatan yang mesti dilakukan. Bersumpah dihadapan orang banyak serta kitab suci bahwa ia akan menjalankan amanahnya dengan sungguh-sungguh dan akan menerima resiko dan konsekuensi apabila ia berlaku tidak amanah.

Menarik memang, sebuah ritual sumpah jabatan yang sarat akan nilai dan norma. Secara sadar orang yang dimintai sumpahnya untuk menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya tentu paham akan resiko dan konsekuensi yang akan diterimanya bila ia menyia-nyiakan amanahnya. Ia tentu tahu bahwa di negeri ini hukum menjadi panglima, setiap kesalahan tentu akan mendapat sanksi, baik sanksi dari masyarakat, maupun sanksi dari institusi penegak hukum. Tentunya juga sebagai orang yang beragama ia sadar bahwa sumpah yang ia ucapkan juga akan diminta pertanggung jawaban oleh Tuhan yang maha kuasa. Namun yang terjadi malah sebaliknya, mayoritas pejabat yang telah diambil sumpahnya mengkhianati ikrar dan esensi sumpah yang telah diucapkannya. Terbukti dari semakin banyaknya pejabat yang ditangkap dan diadili karena berkhianat terhadap amanah yang telah dipercayakan kepadanya.

Mengembalikan Makna Sumpah jabatan
Esensi dari sumpah tentu menjadi sebuah kekuatan yang mampu menjadi tameng atau penghalang (Power Control) dari hal-hal yang mencederai apalagi merusak nilai dan substansi dari sumpah tersebut. Sumpah juga merupakan sebuah prosesi janji dan wujud dari kejujuran, amanah dan komitmen. Makanya prosesi pengambilan sumpah jabatan harus di iringi dengan ritual suci sesuai dengan agama yang dianut oleh yang bersumpah. Dalam sejarah bangsa kita misalnya, kita juga mengenal bermacam-macam sumpah. Sumpah palapa misalnya yang dilakukan oleh Gadjah Mada hingga mampu menyatukan nusantara, sumpah pemuda yang mampu menyatukan seluruh pemuda dalam sebuah semangat nasionalisme, serta sumpah Moh Hatta yang tidak akan makan enak sebelum semua rakyat sejahtera. Sumpah juga merupakan komitmen tertinggi yang memiliki resiko dan konsekuensi tingkat tinggi. Komitmen dan kesadaran yang terbingkai dalam sebuah sumpah akan mampu melejitkan sifat dan sikap bertanggung jawab. Sejarah membuktikan bahwa peradaban ummat manusia hanya mampu di wujudkan oleh sebuah sistem yang di dalamnya terdapat struktur, aparatur dan kultur yang amanah dan bertanggung jawab. Di era modern misalnya Jepang telah membuktikan kemajuan dan ketinggian peradaban yang di bangunnya, kunci dari kesuksesan Jepang adalah adanya “sumpah samurai” sebagai sumpah tertinggi yang dilakukan secara sadar oleh pejabat dan aparatur pemerintahan di Jepang. Maka tak heran jika ada pejabat yang khilaf melakukan kesalahan, mereka akan meminta hukuman, mengundurkan diri bahkan sampai kepada sikap ekstrim yakni bunuh diri. Begitulah hakekat sumpah yang sebenarnya. Sumpah yang mampu menjadi pelurus jalan bagi pelaku sumpah itu sendiri. Sehingga pelaku sumpah jauh dari kesalahan dan penyelewengan amanah. Semoga esensi dan substansi sumpah jabatan benar-benar dimaknai oleh seluruh pejabat di republik ini. Karena sumpah jabatan bukanlah formalitas dan seremonial belaka.

*Ketua Himpunan Mahasiswa Pasca Sarjana Riau Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar