picture : kaskus.com
Era globalisasi hari ini memaksa setiap negara agar memperjelas sistem kenegaraan dan ketata negaraannya. Hal ini dimaksudkan agar setiap negara memiliki corak dan kepastian akan hal-hal yang pokok (dharuriyat) bagi setiap warga negaranya. Sebagaimana juga negara itu terbentuk karena suatu komunitas sosial ( social community) yang berbaur dan merasakan kebutuhan akan suatu sistem atur yang mampu menciptakan keteraturan dan kepastian dalam semua aspek dan lini kehidupan. Lihatlah teori-teori klasik yang tercermin dari pemikiran ahli dan pakar negara seperti Aristoteles, Plato, Montesque, Thomas Hobbes, Ibnu Khaldun dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah apabila keberadaan sebuah negara tak lagi mampu menciptakan keteraturan yang mengikat seluruh rakyatnya dan tak mampu berperan mandiri dalam membuat kebijakan dan undang-undang, apakah hari ini kita masih membutuhkan negara?
Pasca lengsernya presiden Soeharto tahun 1998 dan jatuhnya rezim orde baru, maka sistem pemerintahan di Indonesia berubah dari sistem otoriter menjadi era reformasi. walau sampai hari ini reformasi belum juga menemukan format idealnya. Pada tahun 1999 pula bergemalah gaung demokrasi sebagai tatanan baru dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia. Demokrasi sebagai pengejewantahan dari pemerintahan rakyat akhirnya melahirkan kebebasan seluruh rakyat Indonesia untuk berpendapat, mendirikan perkumpulan dan partai politik. Maka berdirilah sekian banyak organisasi, lembaga dan partai politik yang dulu dimasa orde baru dikekang dan dibatasi. Eforia kebebasan menyampaikan pendapat dalam bingkai partisipasi politik akhirnya melahirkan kebebasan tiada kontrol (kebebasan yang kebablasan). Akhirnya buah dari reformasi dan demokrasi adalah pemerintah dan negara tak lagi menjadi sesuatu yang sakral dan sakti, akan tetapi hanya menjadi simbol dan formalitas belaka.
Terkikisnya Peran Negara
Lambat laun seiring dengan iklim globalisasi dan canggihnya teknologi di era ini akhirnya semakin membuat jarak yang jauh antara negara dan rakyat. Bandingkan dengan dahulu ketika negara memainkan peranan vital dalam mengatur rakyatnya. Sekarang rakyat dalam tanda kutip tak lagi membutuhkan peran pemerintah dalam mengatur urusan pokoknya. Peran pemerintah hanya sebatas peran-peran formal dalam lingkup masyarakat. Masyarakat membutuhkan negara hanya ketika membutuhkan hal-hal formal seperti pengadaan identitas (KTP, KK,surat nikah, Passport, dll), akan tetapi hampir dalam semua aspek kehidupan, masyarakat tak lagi membutuhkan peran negara. Hal ini sebenarnya adalah buah dari prilaku pemerintah yang tak lagi peduli terhadap rakyatnya. Bagaimana tidak, pemerintah boleh dikatakan gagal dalam menjamin hak-hak prinsipil setiap warga negaranya. Lihatlah angka kematian akibat kelaparan yang semakin tinggi, jumlah anak-anak yang tidak bersekolah yang peningkatannya semakin drastis dari hari kehari, ketiadaan jaminan pokok dan sosial inilah yang mengakibatkan merosotnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya. Hingga lambat laun mereka tak lagi membutuhkan pemerintah dan negaranya. Bisa dikatakan pemerintah mengkhianati amanah UUD 1945 yang mengharuskan negara memanfaatkan kekayaan sumber daya alam Indonesia untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya.
Akibat Dari Penerapan Sistem Kapitalis-Liberalis
Data terakhir mengatakan bahwa lebih dari 51 % peredaran uang di pengaruhi oleh pasar (market) dan sisanya baru dikendalikan oleh negara. Bayangkan, besarnya pengaruh dan dominasi pasar terhadap perekonomian bangsa. Yang dikhawatirkan adalah pasar (market) hari ini di setting oleh kepentingan pemilik modal yang nota bene didominasi penganut paham kapital-liberal. Mungkin inilah jawabannya mengapa industri kecil dan menengah (UKK-UKM) sampai hari ini tak mampu bertahan dalam kompetisi ekonomi di republik ini. Keberadaan pemerintah seharusnya mampu mengatur regulasi dan peraturan disektor ekonomi agar rakyat kecil mampu bertahan dan mengembangkan usahanya. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, peraturan dan regulasi yang dihasilkan oleh pemerintah berpihak kepada kepentingan pemilik modal (pengusaha) sehingga mematikan kreasi dan inovasi pengusaha kecil dan pribumi untuk bertahan dan berkembang. Timbullah kebijakan ala kolonial dari pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, penggusuran pedagang kaki lima dimana-mana, pendirian mal-mal dan pusat perbelanjaan raksasa (gient) yang akhirnya memaksa para pedagang kecil untuk gulung tikar.
Eksploitasi dan pengerukan sumber daya alam secara buas dan ganas semakin menambah jurang pemisah antara negara dan rakyatnya. Freeport di Papua misalnya, gunung emas yang ditemukan ternyata tak mampu diambil manfaatnya secara bijak oleh pemerintah. Akhirnya Amerika dengan hegemoni dan prinsip kapitalistiknya memaksa pemerintah kita untuk tunduk dibawah bayang-bayang dan pengaruhnya. Akhirnya masyarakat Papua hanya mampu mengelus dada melihat kekayaan alamnya di ambil secara paksa dengan pembagian hasil yang sangat tidak sepadan. Akhirnya Papua terus bergolak menuntut hak nya. Belum lagi keberadaan perusahaan-perusahaan raksasa kapitalis semakin menambah rusaknya eko -sistem alam Indonesia. Lihatlah Kalimantan dan Sumatera, lebih dari separuh hutannya gundul karena dieksploitasi secara gegabah dan membabi buta. Lagi-lagi rakyat tak mendapatkan buah dari kekayaan alamnya. Pembangunan yang selama ini di janjikan hanya sekedar mimpi belaka. Yang miskin semakin miskin dan si kaya semakin menumpuk kekayaannya tanpa batas. Budaya korupsi para pejabat pemerintah yang semakin menggurita, ditambah kolusi dan nepotisme yang meraja lela semakin menambah apatisme rakyat terhadap penguasa. Kalau sudah begini, apakah kita masih membutuhkan negara?
*Penulis lahir di Siak ,Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar