*M. Syafaat,
Sepuluh tahun lebih sudah Reformasi di gelorakan. Namun hasilnya sangat tidak memuaskan dibandingkan besarnya tuntutan dan harapan rakyat terhadap reformasi itu sendiri. Sampai hari ini pemerintah boleh dikatakan gagal mengejewantahkan konsep reformasi. Birokrasi di tingkat lokalpun tak memiliki acuan tentang yang jelas tentang reformasi birokrasi. Transparansi birokrasi dan akuntabilitas publik menjadi konsep buram yang tak menemukan muaranya, sampai kapan hal ini akan terus berlanjut.
Berita dan kabar yang menghebohkan seputar output dari sistem yang tak jelas akhirnya berbuah juga, dengan banyaknya pejabat maupun mantan pejabat yang tersandung kasus hukum dan kriminalitas terutama terkait dengan korupsi, baik itu dilevel pusat hingga menyebar di tingkat daerah.
Jauh sebelum kasus-kasus ini mencuat kepermukaan, banyak juga anggota DPR maupun DPRD yang terjerat kasus korupsi. Mereka adalah anggota dewan yang tak terlatih dengan baik dan tak terpilih mewakili partai berdasarkan proses rekrutmen dan kaderisasi yang baik, melainkan karena banyaknya uang dan tingginya pamor yang mereka miliki. Akhirnya akibat ketidak tahuannya tentang aturan-aturan dan semangat pragmatisme yang sudah mengakar, mereka terjebak oleh prilaku politik mereka sendiri. Maka lengkaplah sudah bahwa lembaga eksekutif dan legislatif terjebak didalam pusaran kasus hukum penyelewengan keuangan negara dan penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan orang lain.
Selama 10 tahun lebih proses reformasi birokrasi dan politik telah berjalan. Berawal dari tumbangnya Soeharto dan orde barunya pada Mei 1998. Akan tetapi dalam kurun waktu yang panjang itu, tidak ada perubahan yang signifikan dalam sistem birokrasi dan pemerintahan.
Selanjutnya geliat otonomi daerah semakin kuat menjalari kesemua daerah. Optimisme bahwa otonomi daerah akan menjadi momentum penguatan demokrasi dan pemerintahan yang bersih (good governance) nan berwibawa sama sekali tidak berhasil. Output dari otonomi daerah yang tak memiliki aturan main yang jelas ini akhirnya membuahkan fenomena raja-raja kecil yang begitu kentara. Fenomena raja kecil itu adalah penyebutan mengenai praktek penyalahgunaan wewenang kekuasaan oleh elite kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif dan partai-partai politik di daerah-daerah. Tujuan otonomi daerah yang seharusnya untuk memendekkan rentang kendali dan waktu, perubahan praktek penggunaan kekuasaan, serta tumbuh dan menguatnya demokrasi di tingkat lokal, dalam realitanya jauh panggang dari api. Pelaksanaan birokrasi kekuasaan jauh kesan dari adanya perubahan yang berarti.
Semakin buruknya prilaku politik dikalangan aktor politik kian menjadi-jadi. Ibarat menyelam di air keruh, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Kemandekan reformasi birokrasi di tubuh pemerintahan lokal akhirnya menjadi tema kampanye pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilu-Kada) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg). Ada banyak janji yang ditawarkan untuk melakukan reformasi di tubuh birokrasi. Reformasi birokrasi yang di janjikan itu sebenarnya hanyalah sebatas perampingan struktur-struktur organisasi pemerintahan. Perampingan struktur itu di satu sisi menimbulkan konflik di dalam tubuh birokrasi karena harus ada pejabat yang kehilangan jabatan plus fasilitas istimewanya, tetapi di sisi lain memang menghemat anggaran biaya daerah.
Kebijakan Tak Menyentuh Esensi Masalah
Kebijakan setengah hati yang penulis ungkapkan di atas tak memenuhi aspek-aspek lain yang menjadi esensi dan substansi dari reformasi birokrasi itu sendiri. Akuntabilitas dan transparansi yang merupakan dimensi esensial dari ciri tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sama sekali tak tersentuh. Kewenangan yang begitu besar pada birokrat sebagai penyelenggara pemerintahan tidak disertai dengan pertanggung jawaban yang jujur terhadap rakyat dan konstituennya. Ditambah lagi di mana kontrol media dan masyarakat terhadap praktek kekuasaan lemah maka makin memperbesar lemahnya akuntabilitas dan transparansi pegelolaan pemerintahan.
Pemahaman yang tak lengkap dan begitu simpel soal reformasi birokrasi serta tidak tersedianya kerangka kerja reformasi birokrasi yang dihasilkan oleh pemimpin kita membuat reformasi birokrasi berjalan setengah hati dan nyaris tanpa arah. Terjunnya intelektual kampus ke ranah politik praktis baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif seolah-olah juga tak banyak membantu menentukan arah reformasi birokrasi ini. Akibatnya reformasi birokrasi lokal berjalan setengah hati. Kata yang sedikit lebih halus dalam penyebutan kegagalan ini adalah “reformasi birokrasi hanya sebatas slogan”.
Pemerintah Harus Bertanggung Jawab
Pemerintah dalam hal ini eksekutif, legislatif dan yudikatif harus bertanggung jawab menyelesaikan problema masalah reformasi birokrasi yang tak kunjung tuntas. Mereka harus bisa menghasilkan sebuah konsep ideal untuk mewujudkan reformasi birokrasi yang sehat, efektif dan efisien. Lebih lanjut ahli Administrasi Negara Universitas Indonesia Roy V. Salomo mengatakan bahwa buruknya pelayanan publik di Indonesia antara lain disebabkan ketiadaan perangkat hukum yang mengatur standarisasi pelayanan publik yang harus dipenuhi pemerintah. Lebih lanjut Roy menjelaskan bahwa sebenarnya pemerintah bersama dengan DPR sedang menyusun RUU Pelayanan Publik yang memberikan standarisasi pelayanan publik, akan tetapi RUU ini akhirnya mandeg di tengah jalan. Padahal untuk mewujudkan pelayanan publik yang memuaskan seluruh Pemerintah Daerah membutuhkan UU tersebut.
Seharusnya pemerintah dapat belajar dari negara Hongkong, dahulu negara ini terkenal dengan korupsinya. Namun kini Hongkong menjadi negara yang dikenal bersih dari korupsi. Setelah diteliti rupanya ada beberapa kunci keberhasilan Hongkong. Adanya suatu komisi nasional yang independen dalam pemberantasan korupsi kemudian diperkuat dengan dana dan resources yang cukup serta tenaga ahli yang tegas dan terlatih. Inilah kemudian yang menjadi kunci pemberantasan korupsi di Hongkong dan terwujudnya birokrasi yang bersih.
Walaupun pemerintah kita sudah melakukan gebrakan seperti yang Hongkong lakukan, namun kebijakan akan pendirian lembaga pemberantasan korupsi ini (baca; KPK) terkesan masih setengah hati. Terbukti dengan semakin melemahnya tingkat keprcayaan publik terhadap KPK dan kuatnya dorongan oleh kelompok elite dan mahasiswa agar pemerintah membubarkan KPK jika akhirnya tak mampu memberantas korupsi tapi malah menyuburkan skandal korupsi di ruang yang berbeda.
Walau bagaimana keadaannya, reformasi telah menjadi suatu kata yang menggelinding dan menjadi semangat gerak anak-anak bangsa Indonesia. Ia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam usaha bangsa ini untuk merumuskan kembali struktur dan tatanan nilai serta aturan hidup bersama. Hampir di semua ruang dan ranahnya, bergemalah tuntutan yang digelorakan, baik itu oleh masyarakat, mahasiswa, dan mereka yang peduli terhadap pentingnya reformasi birokrasi. Akhirnya kepekaan dan kecerdasan pemerintah dituntut untuk serius mewujudkan mimpi dan harapan reformasi. Khususnya dalam tatanan kenegaraan dan sosial kemasyarakatan yaitu reformasi birokrasi. Semoga....
*Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar