Selasa, 24 April 2012

Andai Riau Daerah Istimewa

oleh: M. Syafaat*


Dalam sebuah kajian dan diskusi ringan beberapa hari yang lalu bersama kawan-kawan pengurus Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Riau Yogyakarta, ada sebuah pernyataan yang menurut saya menarik untuk di kemukakan. Statement nya berbunyi “andai Riau daerah istimewa”, ya, sebuah ungkapan yang lahir sebagai wujud kegelisahan dan keresahan melihat realita yang ada di provinsi ini.

Puluhan tahun sudah Riau menjadi provinsi, selama itu pula seluruh bakti dan pengabdian yang tulus selalu diberikan oleh rakyat Riau kepada republik ini. Sebagai daerah yang memiliki kekayaan yang melimpah ruah, Riau memiliki kontribusi dan andil yang sangat besar dalam membangun negara ini. Setiap tahunnya, Riau merupakan penyumbang terbesar terhadap pendapatan negara. Bakti yang menggunung, pengabdian yang tak kenal pamrih sepertinya tak seindah dan tak setulus hasil yang diterima oleh masyarakat Riau, mayoritas masyarakat di Riau masih hidup dibawah bayang-bayang kemiskinan.

Andai Riau Memiliki Hak Istimewa

Andai Riau daerah istimewa, ya sebuah narasi yang merindukan kemakmuran, suatu ide tentang kesejahteraan. Keistimewaan adalah sebuah penghargaan yang diberikan pemerintah kepada daerah yang memiliki history emas tersendiri bagi tumbuh dan berkembangnya republik ini. Daerah istimewa juga merupakan wujud ideal dari pengaturan akan kekayaan dan kekuasaan yang bisa diatur sendiri berdasarkan keinginan suatu daerah. Keistimewaan juga wujud dari penghargaan pemerintah terhadap sumbangsih suatu daerah terhadap negara ini. Lihatlah Aceh misalnya, karena “ngototnya” pemimpin dan masyarakat daerah ini untuk berdiri mandiri dan diberikan otonomi khusus dalam mengelola pemerintahan dan kekayaan alamnya, menjadikan provinsi ini sebagai daerah istimewa dan memiliki hak otonomi khusus. Melalui UU no. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan provinsi daerah istimewa Aceh dan UU no. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, kini Aceh telah bermetamerfosa menjadi sebuah provinsi dengan jumlah APBD terbesar diseantero republik ini. Dengan jumlah anggaran yang sangat besar itu, menjadi sebuah kemungkinan besar bahwa Aceh akan menjadi provinsi termakmur di negeri ini, perlahan tapi pasti, Aceh mampu mengentaskan permasalahan kemiskinan yang dulu menjadi problem akut didaerah ini, pendidikan gratis dan berkualitas juga telah mampu diwujudkan meski masih terdapat kekurangan dan kelemahan disana-sini.

Selain Aceh, Yogyakarta juga mendapatkan pengakuan keistimewaan dan hak otonomi khusus dalam mengatur sirkulasi dan sistem kekuasaan di provinsi “gudeg” ini. Sebagai balas jasa dan penghargaan pemerintah RI terhadap peranan Yogyakarta dalam sejarah perjuangan nasional serta balas jasa presiden Soekarno atas pengakuan raja-raja dan sultan-sultan tersebut yang menyatakan bahwa wilayah mereka adalah bagian dari kedaulatan Republik Indonesia. Dalam perkembangannya, meski tidak memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah ruah seperti yang dimiliki oleh Aceh serta provinsi lainnya, akan tetapi daerah ini mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya, bahkan kini provinsi ini menjadi icont terhadap mutu dan kualitas pendidikan serta sumber daya manusia Indonesia.

Riau sebenarnya juga memiliki nilai history dan sejarah panjang bagi negara ini. Kerajaan yang ada di Riau dulu mempunyai andil dan kontribusi yang sangat besar terhadap perjuangan melawan kolonialisme, sebut saja kerajaan Siak misalnya, dulunya kerajaan yang ada di kabupaten Siak ini pernah menjadi sentra kekuasaan melayu dizamannya, bahkan memegang peranan penting terhadap percaturan politik diwilayah semenanjung Malaka. Kerajaan Pelalawan juga memiliki sejarah yang penting dalam upaya mempertahankan wilayah ini dari buasnya cengkraman penjajahan. Riau juga memberikan sumbangan berharganya dalam bentuk peradaban bagi negara ini, sebutlah misalnya bahasa melayu yang akhirnya diambil sebagai bahasa pemersatu negeri ini.

Selain nilai history yang begitu kuat sebagai penanda besarnya kontribusi masyarakat Riau terhadap negara ini, sumbangsih yang tak kalah pentingnya adalah keikhlasan masyarakat Riau menyumbangkan kekayaan buminya untuk digunakan negara dalam membangun negeri ini.Riau merupakan provinsi terluas keenam di seluruh Indonesia. Provinsi ini terletak pada jalur pelayaran internasional Laut China Selatan dan Selat Malaka yang menghubungkan wilayah Asia Pasifik dan Eropa. Riau kaya akan minyak dan gas bumi, hasil tambang lainnya dan juga hasil perkebunan kelapa sawit, kelapa, karet dan hasil hutan lainnya. Tak heran, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Riau menempati urutan ketiga setelah Kalimantan Timur dan DKI Jakarta. Namun demikian fakta menunjukkan kekayaan alam Riau yang melimpah itu sebagian besar dibawa ke Jakarta. Selama tahun 2009 hingga 2010, dari Rp. 59,146 triliun sumbangan Riau kepada negara yang kembali ke Riau hanya Rp. 1,013 triliun atau sekitar 1,7%, demikian pula dari sektor pajak yang hanya kembali 0,07%-nya. Miris memang, tapi apa mau dikata, inilah realita yang ada.

Tak ada salah jika berandai, kadang ide yang besar itu lahir dari berandai-andai, andai dulu kerajaan yang ada di Riau tak langsung menyerahkan wilayahnya kepada negara ini, tapi harus melalui jaminan keistimewaan yang didapatkan, tentu rakyat Riau hari ini tak hidup menderita. Tentu tak akan ada masyarakat yang memiliki rumah berdinding kulit seperti yang ada di Duri, tak patut memang, sebagai daerah penghasil minyak dengan kualitas terbaik di dunia, mayoritas penduduk asli di Duri hidup dalam dekapan kemiskinan dan kebodohan. Andai Riau daerah istimewa tentu sejahtera pula hidup para suku nelayan di sepanjang sungai indragiri, andai Riau daerah istimewa tentu tak mudah menjumpai pengemis dan gelandangan yang hari ini menghiasi jalan-jalan utama dan perempatan lampu merah. Andai Riau daerah istimewa, tentulah kekayaan alam yang dimiliki mampu mewujudkan Riau sebagai sentra kemakmuran di negara ini. Menuntut hak bukan bermakna memisahkan diri, menyuarakan keadilan tidaklah mengurangi nilai nasionalisme yang dimiliki. Tuntutan keadilan ini harus lantang digelorakan, terutama oleh mereka yang kini diberikan amanah sebagai pemimpin Riau hari ini.

*Ketua Himpunan Mahasiswa Pasca Sarjana Riau Yogyakarta,

Tingkatkan Etos dan Produktifitas Pelajar Indonesia

oleh: M. Syafaat*


Berbicara tentang etos dan semangat anak muda Indonesia agar lebih produktif dalam proses pendidikannya adalah suatu hal yang harus dari sekarang digelorakan. Bagaimana tidak, mayoritas penduduk negeri ini memiliki tingkat konsumerisme terbesar didunia. Ketergantungan dengan bangsa lain baik disektor politik, ekonomi maupun sumber daya masih tinggi dan terkesan sulit dihilangkan. Lihatlah- begitu banyak perusahaan di negeri ini, baik asing maupun lokal, masih saja menempatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia ke level yang belum menggembirakan.

Hal terpenting yang menjadi segmentasi pembenahan utama adalah proses pendidikan kita. Persoalannya adalah bagaimana para pelajar ataupun mahasiswa kita bisa memperolah hasil yang maksimal dan optimal ketika dalam proses pencarian ilmu. Untuk mengurai permasalahan tersebut, kita perlu berbicara tentang produktivitas pelajar ataupun mahasiswa kita yang beretos sehingga menjadi produktif.

Pemaknaan dari pelajar ataupun mahasiswa yang produktif adalah mereka yang dapat mencapai prestasi optimal sesuai dengan kecendrungan ataupun potensi yang dimilikinya. Prestasi ini bukan hanya dari segi akademiknya saja melainkan juga kompetensi kepemilikan keilmuan lainnnya. Seperti kemampuan dalam analisa, mengeluarkan pendapat, kemampuan dalam penelitian (research) kemampuan menulis, ataupun kemampuan dalam memanajemen waktu, sehingga kelak mereka yang kita harapkan dapat menjadi pemimpin unggul di masa mendatang.

Untuk mencapai produktivitas seperti yang disebutkan diatas, harus memenuhi beberapa persyaratan dan kriteria utama. Seorang ahli Psikologi Indonesia Prof. Dr. Rahayu Haditono mengatakan bahwa ada tiga faktor untuk mencapai produktivitas dunia pendidikan, yaitu fasilitas di sekolah-kampus dalam arti luas, stimulasi mental di rumah, serta keadaan gizi. Bilamana ketiga faktor itu bisa tercapai atau bahkan dapat ditingkatkan, maka anak akan mampu menggunakan kemampuan dan kapasitas intelektualnya secara lebih baik.

Peran Pemerintah

Kalau boleh jujur, pemerintah negeri ini masih belum berlaku adil dan fair terhadap dunia pendidikan. Tarik ulur kepentingan dalam perbaikan kualitas pendidikan masih saja terjadi dan belum sepenuhnya diperjuangkan. Tercermin dari alokasi anggaran pendidikan yang masih setengah hati. Makanya timbul ragam pemahaman, apakah minimnya anggaran pendidikan ini terjadi karena keterbatasan dana, atau sarat dengan kepentingan politik.

Fasilitas di sekolah-kampus di beberapa kota dan desa terkesan masih jauh dari harapan. Jangankan untuk bersaing dengan bangsa asing, berkompetisi sesama bangsa sendiri yang nasibnya lebih baik saja masih terkesan sulit. Di beberapa daerah kita masih mendengar, anak-anak SD yang sekolah di gubuk-gubuk reot, di rumah milik warga, ataupun di tenda-tenda. Jangankan mengharap fasilitas penunjang pendidikan mereka. Untuk menempati bangunan sekolah yang layak huni saja bagi mereka adalah mimpi.

Data pemerintah menunjukkan fakta yang amat memprihatinkan hingga tahun 2011, ruang kelas SD yang rusak terdata 187.855 ruang dari total 895.761 ruang kelas. Di SMP, ada 39.554 ruang rusak dari 192.029 ruang kelas. Dana yang dibutuhkan untuk merehabilitasi kerusakan itu sebesar Rp 17,36 triliun. Sayang itu belum menjadi prioritas pengambil kebijakan di negeri ini.

Selanjutnya untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, pemerintah haruslah menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama dari pekerjaan mereka. Apabila pemerintah dalam hal ini sudah serius untuk menanggulangi permasalahn diatas, maka terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas tentu bukan sekedar mimpi.

Peran Keluarga dan Masyarakat

Kontribusi terpenting dalam hal ini adalah bagaimana peran keluarga menciptakan iklim dan kultur “pendidikan” di rumah. Ayah dan Ibu merupakan komponen terkecil yang memiliki fungsi paling besar untuk mewujudkan etos dan produktivitas anaknya. Sebuah keluarga yang sadar akan tugas dan fungsi ini pasti akan lebih mengutamakan pelaksanaan secara teknis tentang etika, estetika dan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan dan diaplikasikan didalam rumah tangga. Mengontrol waktu belajar anaknya, membantu membuat suasana belajar menjadi lebih menyenangkan tentu merupakan tips yang urgen untuk dilaksanakan, memperhatikan perkembangan psikologi anak dan meningkatkan asupan gizi dan suplement penunjang kecerdasan lainnya juga menjadi tugas pokok orang tua.

Kemudian masyarakat sebagai komunitas sosial (sosial community) juga memiliki peran yang juga tak kalah pentingnya. Iklim terdidik dan taat akan nilai, baik nilai dalam agama ataupun adat istiadat akan membantu terciptanya kultur (culture) masyarakat yang cerdas dan disiplin. Dalam ruang ini, kepekaan sosial dan terwujudnya kompetisi bersama harus selalu dijaga. Suatu masyarakat yang tingkat persaingan tinggi tentu akan melahirkan struktur masyarakat yang memiliki semangat dan etos yang tinggi pula, begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban semua pihaklah untuk kembali memperbaiki etos dan produktivitas insan pelajar di Indonesia.

Akhirnya, untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang maju dan disegani tentunya harus memperhatikan aspek sumber daya pendidikan manusianya. Untuk mewujudkan kultur Indonesia yang berdaya saing dan produktif haruslah memompa semangat para pelajarnya untuk semangat dan memiliki etos yang tinggi terhadap pendidikan itu sendiri. Peranan ini harus dimainkan oleh semua elemen bangsa, dari pemerintah, sampai kepada elemen terkecil yakni keluarga. Semoga dengan memperhatikan aspek diatas, mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berdaya saing tinggi tentu bukan lagi sebatas slogan, akan tetapi menjadi hasil dari berjalannya proses pendidikan yang mendukungnya. “sebuah spirit untuk maju”.

*Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mandulnya Sumpah Jabatan

oleh: M.Syafaat
 picture : detik.com


Genderang pesta demokrasi (demokracy party) semakin semarak menghiasi ibu pertiwi. Pergantian jabatan dan kepemimpinan sudah menjadi tradisi yang mengakar di republik ini. Entah berapa kali sudah pesta demokrasi itu dihelat, dan entah berapa kali pula pejabat publik itu di ganti. Namun apa lacur, perubahan dan perbaikan yang dinanti tak kunjung tiba.

Sejenak merenungi nasib bangsa yang tak pernah bahagia ini. Apakah kesalahan sistem yang digunakan untuk mengelola bangsa ini, atau pengelolanya yang memang tak tahu diri. Kekayaan alam yang melimpah ruah ternyata tak mampu menjadi modal mandiri mengelola negeri sendiri. Kerakusan pejabat mengakibatkan eksploitasi dan pengerukan sumber daya alam secara buas dan binal. Rakyat kecil tetap saja menjadi komoditi perahan untuk melanggengkan kekuasaan. Kemiskinan menjadi lahan basah tempat menabur mimpi dan janji palsu ketika pemilihan kepala daerah. Setelah mereka naik, janji tinggallah janji, para pejabat kembali menjadi keparat karena memang tak punya niat untuk melakukan perbaikan buat negerinya sendiri.

Sumpah Jabatan; kesakralan yang disepelekan
Seringkali sesuatu yang sakti dan sakral sekarang sudah menjadi mainan. Padahal dibalik kesakralan sesuatu itu terkandung nilai dan esensi (value mores) yang mengikat dan mengakar. Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia ini sangat mensakralkan sumpah dan hal-hal sakral lainnya. Bahkan Islam mencela orang yang bersumpah untuk sebuah kepalsuan. Pelakunya bahkan diancam dengan neraka dan siksa. Sungguh sumpah adalah sebuah kesakralan yang beresiko tinggi jika diabaikan dan dipermainkan.

Kekuasaan terkadang melenakan. Orang yang sudah merasakan nikmatnya berkuasa terkadang enggan turun dari singgasana kebesarannya. Ia bahkan tak perduli rakyat yang dipimpinnya sudah muak dan bosan dengan kepemimpinannya yang mandul dan tak mampu melakukan perubahan.

Pejabat sebagai seseorang yang diangkat oleh rakyat semestinya menjalankan kewenangannya dengan amanah dan profesional. Pejabat sebagai kepercayaan publik semestinya juga sadar bahwa kekuasaan dan jabatan itu hanyalah amanah dan titipan yang kelak akan dia pertanggung–jawabkan. Bahkan ketika ia dilantik sebagai pejabat, ada ritual sumpah jabatan yang mesti dilakukan. Bersumpah dihadapan orang banyak serta kitab suci bahwa ia akan menjalankan amanahnya dengan sungguh-sungguh dan akan menerima resiko dan konsekuensi apabila ia berlaku tidak amanah.

Menarik memang, sebuah ritual sumpah jabatan yang sarat akan nilai dan norma. Secara sadar orang yang dimintai sumpahnya untuk menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya tentu paham akan resiko dan konsekuensi yang akan diterimanya bila ia menyia-nyiakan amanahnya. Ia tentu tahu bahwa di negeri ini hukum menjadi panglima, setiap kesalahan tentu akan mendapat sanksi, baik sanksi dari masyarakat, maupun sanksi dari institusi penegak hukum. Tentunya juga sebagai orang yang beragama ia sadar bahwa sumpah yang ia ucapkan juga akan diminta pertanggung jawaban oleh Tuhan yang maha kuasa. Namun yang terjadi malah sebaliknya, mayoritas pejabat yang telah diambil sumpahnya mengkhianati ikrar dan esensi sumpah yang telah diucapkannya. Terbukti dari semakin banyaknya pejabat yang ditangkap dan diadili karena berkhianat terhadap amanah yang telah dipercayakan kepadanya.

Mengembalikan Makna Sumpah jabatan
Esensi dari sumpah tentu menjadi sebuah kekuatan yang mampu menjadi tameng atau penghalang (Power Control) dari hal-hal yang mencederai apalagi merusak nilai dan substansi dari sumpah tersebut. Sumpah juga merupakan sebuah prosesi janji dan wujud dari kejujuran, amanah dan komitmen. Makanya prosesi pengambilan sumpah jabatan harus di iringi dengan ritual suci sesuai dengan agama yang dianut oleh yang bersumpah. Dalam sejarah bangsa kita misalnya, kita juga mengenal bermacam-macam sumpah. Sumpah palapa misalnya yang dilakukan oleh Gadjah Mada hingga mampu menyatukan nusantara, sumpah pemuda yang mampu menyatukan seluruh pemuda dalam sebuah semangat nasionalisme, serta sumpah Moh Hatta yang tidak akan makan enak sebelum semua rakyat sejahtera. Sumpah juga merupakan komitmen tertinggi yang memiliki resiko dan konsekuensi tingkat tinggi. Komitmen dan kesadaran yang terbingkai dalam sebuah sumpah akan mampu melejitkan sifat dan sikap bertanggung jawab. Sejarah membuktikan bahwa peradaban ummat manusia hanya mampu di wujudkan oleh sebuah sistem yang di dalamnya terdapat struktur, aparatur dan kultur yang amanah dan bertanggung jawab. Di era modern misalnya Jepang telah membuktikan kemajuan dan ketinggian peradaban yang di bangunnya, kunci dari kesuksesan Jepang adalah adanya “sumpah samurai” sebagai sumpah tertinggi yang dilakukan secara sadar oleh pejabat dan aparatur pemerintahan di Jepang. Maka tak heran jika ada pejabat yang khilaf melakukan kesalahan, mereka akan meminta hukuman, mengundurkan diri bahkan sampai kepada sikap ekstrim yakni bunuh diri. Begitulah hakekat sumpah yang sebenarnya. Sumpah yang mampu menjadi pelurus jalan bagi pelaku sumpah itu sendiri. Sehingga pelaku sumpah jauh dari kesalahan dan penyelewengan amanah. Semoga esensi dan substansi sumpah jabatan benar-benar dimaknai oleh seluruh pejabat di republik ini. Karena sumpah jabatan bukanlah formalitas dan seremonial belaka.

*Ketua Himpunan Mahasiswa Pasca Sarjana Riau Yogyakarta

Reformasi Birokrasi; Harga Mati Untuk Membenahi Problem Bangsa


*M. Syafaat,

Sepuluh tahun lebih sudah Reformasi di gelorakan. Namun hasilnya sangat tidak memuaskan dibandingkan besarnya tuntutan dan harapan rakyat terhadap reformasi itu sendiri. Sampai hari ini pemerintah boleh dikatakan gagal mengejewantahkan konsep reformasi. Birokrasi di tingkat lokalpun tak memiliki acuan tentang yang jelas tentang reformasi birokrasi. Transparansi birokrasi dan akuntabilitas publik menjadi konsep buram yang tak menemukan muaranya, sampai kapan hal ini akan terus berlanjut.

Berita dan kabar yang menghebohkan seputar output dari sistem yang tak jelas akhirnya berbuah juga, dengan banyaknya pejabat maupun mantan pejabat yang tersandung kasus hukum dan kriminalitas terutama terkait dengan korupsi, baik itu dilevel pusat hingga menyebar di tingkat daerah.

Jauh sebelum kasus-kasus ini mencuat kepermukaan, banyak juga anggota DPR maupun DPRD yang terjerat kasus korupsi. Mereka adalah anggota dewan yang tak terlatih dengan baik dan tak terpilih mewakili partai berdasarkan proses rekrutmen dan kaderisasi yang baik, melainkan karena banyaknya uang dan tingginya pamor yang mereka miliki. Akhirnya akibat ketidak tahuannya tentang aturan-aturan dan semangat pragmatisme yang sudah mengakar, mereka terjebak oleh prilaku politik mereka sendiri. Maka lengkaplah sudah bahwa lembaga eksekutif dan legislatif terjebak didalam pusaran kasus hukum penyelewengan keuangan negara dan penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan orang lain.

Selama 10 tahun lebih proses reformasi birokrasi dan politik telah berjalan. Berawal dari tumbangnya Soeharto dan orde barunya pada Mei 1998. Akan tetapi dalam kurun waktu yang panjang itu, tidak ada perubahan yang signifikan dalam sistem birokrasi dan pemerintahan.

Selanjutnya geliat otonomi daerah semakin kuat menjalari kesemua daerah. Optimisme bahwa otonomi daerah akan menjadi momentum penguatan demokrasi dan pemerintahan yang bersih (good governance) nan berwibawa sama sekali tidak berhasil. Output dari otonomi daerah yang tak memiliki aturan main yang jelas ini akhirnya membuahkan fenomena raja-raja kecil yang begitu kentara. Fenomena raja kecil itu adalah penyebutan mengenai praktek penyalahgunaan wewenang kekuasaan oleh elite kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif dan partai-partai politik di daerah-daerah. Tujuan otonomi daerah yang seharusnya untuk memendekkan rentang kendali dan waktu, perubahan praktek penggunaan kekuasaan, serta tumbuh dan menguatnya demokrasi di tingkat lokal, dalam realitanya jauh panggang dari api. Pelaksanaan birokrasi kekuasaan jauh kesan dari adanya perubahan yang berarti.

Semakin buruknya prilaku politik dikalangan aktor politik kian menjadi-jadi. Ibarat menyelam di air keruh, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Kemandekan reformasi birokrasi di tubuh pemerintahan lokal akhirnya menjadi tema kampanye pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilu-Kada) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg). Ada banyak janji yang ditawarkan untuk melakukan reformasi di tubuh birokrasi. Reformasi birokrasi yang di janjikan itu sebenarnya hanyalah sebatas perampingan struktur-struktur organisasi pemerintahan. Perampingan struktur itu di satu sisi menimbulkan konflik di dalam tubuh birokrasi karena harus ada pejabat yang kehilangan jabatan plus fasilitas istimewanya, tetapi di sisi lain memang menghemat anggaran biaya daerah.

Kebijakan Tak Menyentuh Esensi Masalah

Kebijakan setengah hati yang penulis ungkapkan di atas tak memenuhi aspek-aspek lain yang menjadi esensi dan substansi dari reformasi birokrasi itu sendiri. Akuntabilitas dan transparansi yang merupakan dimensi esensial dari ciri tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sama sekali tak tersentuh. Kewenangan yang begitu besar pada birokrat sebagai penyelenggara pemerintahan tidak disertai dengan pertanggung jawaban yang jujur terhadap rakyat dan konstituennya. Ditambah lagi di mana kontrol media dan masyarakat terhadap praktek kekuasaan lemah maka makin memperbesar lemahnya akuntabilitas dan transparansi pegelolaan pemerintahan.

Pemahaman yang tak lengkap dan begitu simpel soal reformasi birokrasi serta tidak tersedianya kerangka kerja reformasi birokrasi yang dihasilkan oleh pemimpin kita membuat reformasi birokrasi berjalan setengah hati dan nyaris tanpa arah. Terjunnya intelektual kampus ke ranah politik praktis baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif seolah-olah juga tak banyak membantu menentukan arah reformasi birokrasi ini. Akibatnya reformasi birokrasi lokal berjalan setengah hati. Kata yang sedikit lebih halus dalam penyebutan kegagalan ini adalah “reformasi birokrasi hanya sebatas slogan”.

Pemerintah Harus Bertanggung Jawab

Pemerintah dalam hal ini eksekutif, legislatif dan yudikatif harus bertanggung jawab menyelesaikan problema masalah reformasi birokrasi yang tak kunjung tuntas. Mereka harus bisa menghasilkan sebuah konsep ideal untuk mewujudkan reformasi birokrasi yang sehat, efektif dan efisien. Lebih lanjut ahli Administrasi Negara Universitas Indonesia Roy V. Salomo mengatakan bahwa buruknya pelayanan publik di Indonesia antara lain disebabkan ketiadaan perangkat hukum yang mengatur standarisasi pelayanan publik yang harus dipenuhi pemerintah. Lebih lanjut Roy menjelaskan bahwa sebenarnya pemerintah bersama dengan DPR sedang menyusun RUU Pelayanan Publik yang memberikan standarisasi pelayanan publik, akan tetapi RUU ini akhirnya mandeg di tengah jalan. Padahal untuk mewujudkan pelayanan publik yang memuaskan seluruh Pemerintah Daerah membutuhkan UU tersebut.

Seharusnya pemerintah dapat belajar dari negara Hongkong, dahulu negara ini terkenal dengan korupsinya. Namun kini Hongkong menjadi negara yang dikenal bersih dari korupsi. Setelah diteliti rupanya ada beberapa kunci keberhasilan Hongkong. Adanya suatu komisi nasional yang independen dalam pemberantasan korupsi kemudian diperkuat dengan dana dan resources yang cukup serta tenaga ahli yang tegas dan terlatih. Inilah kemudian yang menjadi kunci pemberantasan korupsi di Hongkong dan terwujudnya birokrasi yang bersih.

Walaupun pemerintah kita sudah melakukan gebrakan seperti yang Hongkong lakukan, namun kebijakan akan pendirian lembaga pemberantasan korupsi ini (baca; KPK) terkesan masih setengah hati. Terbukti dengan semakin melemahnya tingkat keprcayaan publik terhadap KPK dan kuatnya dorongan oleh kelompok elite dan mahasiswa agar pemerintah membubarkan KPK jika akhirnya tak mampu memberantas korupsi tapi malah menyuburkan skandal korupsi di ruang yang berbeda.

Walau bagaimana keadaannya, reformasi telah menjadi suatu kata yang menggelinding dan menjadi semangat gerak anak-anak bangsa Indonesia. Ia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam usaha bangsa ini untuk merumuskan kembali struktur dan tatanan nilai serta aturan hidup bersama. Hampir di semua ruang dan ranahnya, bergemalah tuntutan yang digelorakan, baik itu oleh masyarakat, mahasiswa, dan mereka yang peduli terhadap pentingnya reformasi birokrasi. Akhirnya kepekaan dan kecerdasan pemerintah dituntut untuk serius mewujudkan mimpi dan harapan reformasi. Khususnya dalam tatanan kenegaraan dan sosial kemasyarakatan yaitu reformasi birokrasi. Semoga....

*Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.




Kampus, Tahun Baru dan Cita-Cita Peradaban



*M. Syafaat

“Peradaban yang tinggi hanya akan mampu di bangun oleh orang-orang yang memiliki ide dan narasi yang besar, selanjutnya dengan ide dan narasi besar itu mereka melakukan kerja dan peran yang besar, buah dari itu semua adalah sifat kepahlawanan, oleh sebab itu benarlah sebuah adegium yang mengatakan; pahlawan itu adalah mereka yang melakukan pekerjaan yang tak dilakukan oleh orang-orang kebanyakan...”

Kampus adalah basis intelektualitas dan perubahan, dari kampuslah lahir ide-ide, narasi, gagasan, konsep, dan cerita tentang perubahan, perbaikan dan kemajuan. Kampus juga merupakan wahana impian para pemimpi dan pekerja peradaban. Disana mereka membentuk jati diri dan kepribadian yang akhirnya berbuah suatu sikap yang dinamakan karakter.

Selain peran intelektualitas dan perubahan, kampus juga berperan sebagai basis moralitas dan spritualitas. Peran inilah yang perlahan mulai terkikis oleh gagasan pragmatis-sekularis yang hanya mengedepankan logika dan eksplorasi nalar belaka, buah dari itu semua adalah menjadikan dunia sebagai tolok ukur kesuksesan dengan menghalalkan segala cara dan mengenyampingkan nilai, etika, estetika dan norma-norma yang berlaku.

Membangun Mimpi Melalui Aksi

Bukankah semua berawal dari mimpi? (Copas Laskar Pelangi), lihatlah,semua peradaban yang pernah dibangun oleh manusia, semuanya dibangun dan diawali dengan mimpi, seperti mimpi Socrates, Aristoteles, Montesqieu, Hobbes..,yaa,,mereka yang semula hanya bermimpi tentang bagaimana perkumpulan dan komunitas manusia memiliki peraturan dan norma hukum, akhirnya buah mimpi mereka diaplikasikan dalam bentuk gagasan dan ide tentang niscayanya keberadaan sebuah negara yang akhirnya disambut oleh manusia dengan membentuk polis-state (negara kota yang teratur), makanya jangan meremehkan dan bermain-main dengan mimpi, dari mimpilah lahir cerita tentang modernitas yang digagas barat, perubahan sosial yang diawali dengan revolusi industri di inggris, demokrasi, dan kemajuan peradaban manusia lainnya. Kampus adalah lahan basah untuk mengukir dan menerjemahkan impian yang dimiliki. Oleh sebab itu bermimpilah dan jangan sekali-kali membatasi impian anda pada sekat-sekat dan ruang batas yang sempit, jadilah pemimpi yang baik, ukirlah mimpi untuk kemashlahatan orang banyak, dan bukan mimpi yang disempitkan hanya untuk kesenangan pribadi, kelompok dan golongan saja.

Mempunyai mimpi dan narasi yang besar adalah modal utama untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik, langkah selanjutnya, ketika kita sudah memiliki mimpi dan narasi ini, maka berusahalah sekuat tenaga untuk mengaplikasikan mimpi kedalam ranah kehidupan yang nyata, berbuatlah dan awali dalam skup terkecil dan mulailah dari diri sendiri, selanjutnya pastikan tingkah laku, perbuatan, serta aksi kita bisa dirasakan oleh orang lain, bisa dinikmati oleh publik dan masyarakat yang sudah sejak lama merindukan sang pembaharu (mujaddid) yang akan membawa kehidupan mereka kearah yang lebih baik dari keadaan mereka yang sekarang. Sehingga keimanan yang melekat dalam diri kita bisa dirasakan oleh orang lain, dinikmati oleh masyarakat dan negara, bahkan oleh bangsa hewan sekalipun.

Sejenak kita tinggalkan pembahasan tentang mimpi, karena mimpi itu telah melekat kuat, karena narasi itu telah hidup secara permanen dalam setiap hembusan nafas dan cita kehidupan kita, selanjutnya saya ingin menceritakan tentang sebuah komunitas yang kokoh, kuat dan saling sinergis, mereka yang rela berkorban dan mengorbankan apa saja yang wajar, baik berupa pikiran, waktu maupun harta mereka, mereka adalah individu-individu yang sadar akan hakekat peran dan bagaimana cara mengaplikasikan mimpi , gagasan, serta ide yang mereka miliki, mereka adalah para pecinta ilmu yang rela beranjak dari satu majelis ilmu ke majelis ilmu lainnya, dari satu ruangan keruangan yang lainnya, dari satu guru ke guru yang lainnya, dari satu surat ke surat lainnya, dari satu kampus kekampus lainnya, yaa,,mereka yang tak banyak menuntut, tak terlalu sok mengkritisi, tapi mereka ingin lebih banyak berbuat, mereka yang merasa masih minim berkontribusi untuk kebaikan walaupun sudah berpeluh, berpanas dalam ruang kebaikan itu...yaa,,mereka yang sadar akan kodratnya sebagai manusia, serta memaksakan dirinya untuk lebih banyak berbuat demi masyarakatnya, bangsanya serta agamanya.

Seorang pemain bola seperti David Beckham juga begitu, dia terlihat lebih ekspresif dan agresif, bahkan menurut cerita dari sang pelatih, David Beckham adalah pemain yang bekerja keras, memaksa diri untuk lebih, dan dia menambah jam latihannya disaat pemain yang lainnya beristirahat, akhirnya kita mengenal David Beckham adalah pemain yang memiliki akurasi tendangan bebas yang sulit dicari tandingannya. Banyak para tokoh, ilmuan serta mereka yang sukses membangun peradabannya adalah mereka yang tak mengenal kamus kegagalan dalam hidupnya, lihatlah sang penemu bola lampu, Thomas Alfa Edison, anak yang tak memiliki jenjang pendidikan formal ini berhasil dalam percobaan bola lampunya setelah ia mengalami kegagalan sebanyak 990 kali,,subhanallah..

Dari mimpi menuju aksi,,ya itulah hakekat kehidupan kita, dari ilmu menuju amal, dari gelap menuju cahaya, dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan, kita harus sadar bahwa kemunduran ummat Islam adalah akibat terjebak dalam kesalahan interpretasi akan teks-teks suci (nash), merasa bahwa kehidupan dunia ini sementara sifatnya kemudian berlomba-lomba menjauh dari ilmu pengetahuan dan teknologi dan selanjutnya memilih hidup “zuhud” dalam dekapan ruang-ruang gelap dan pengap, tak ubahnya bagai rahib dan pendeta Yahudi yang diejek berulang kali didalam al-Qur’an. Ummat Islam juga harus berbenah, sekarang bukan saatnya lagi terjebak dalam dogmatis agama yang terkadang bersifat parsial-tradisional, masih saja larut dalam irama menyalahkan orang lain yang berbeda mazhab, berbeda cara pandang, mudah mengkafirkan dan membid’ahkan perbuatan orang lain, seolah-olah kebenaran hanya milik mereka dan surga hanya miliknya dan golongannya. Na’uzubillah..

Dari Ide selanjutnya diterjemahkan kealam nyata. Para intelektual Muslim yang dididik dan dibina dikampus harus menyadari akan hakekat kedalaman peran dan fungsinya, selain mereka bekerja dan berbuat sesuai dengan spesialisasi dan kompetensi keilmuan yang dimilikinya, mereka harus memiliki kesadaran yang kuat, kesadaran untuk membangun ummatnya yang sedang tertidur lelap, dibuai oleh indahnya mimpi yang tak jua hadir dalam kehidupan nyata mereka, inilah peran terbesar para penyeru kebaikan hari ini. Menyadarkan orang yang sedang terlena bukanlah tugas yang mudah, harus ada kesabaran yang menggunung yang harus dimiliki, kesungguhan yang tak mengenal batas, bagaimanapun juga, Ummat harus keluar dari belenggu sikap skeptis dan nrimo apa yang ada. Mereka harus dipaksa dan dituntun untuk berpikir kearah kemajuan dan ilmu pengetahuan, yang dengan bekal itu ummat akan kembali membangun ketinggian peradabannya. Sikap reaktif ummat harus diubah menjadi sifat pro-aktif, al-Quran tak akan bermanfaat kalau hanya sekedar dibaca secara rutin, kemudian disakralkan dalam ritual-ritual seremonial keagamaan belaka, ummat harus disadarkan bahwa al-Qur’an hanya akan bermanfaat bagi mereka jika dibaca, dipahami, ditafsirkan dan di terjemahkan dalam kehidupan mereka.

Tahun Baru, Momentum Perubahan

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sebenarnya tak ada yang baru ditahun baru ini, hanya sebagai muslim kita harus meyakini bahwa hari kemaren harus lebih baik dari pada hari ini, dan hari ini harus lebih baik dari pada lusa dan begitu seterusnya, dan hal ini harus menjadi misi bersama (one mission) bagi setiap pribadi-pribadi muslim yang mengalir semangat perubahan dan perbaikan dalam dirinya.

Mengawali awal tahun 2012 ini, sejenak kita mengevaluasi diri, lihatlah ragam peristiwa yang terjadi di dunia ini, begitu cepat gelombang perubahan merubah tatanan dunia hari ini, Revolusi Arab (Arab Spring) yang dikenal dengan “revolusi melati” membuka mata kita akan kerinduan Ummat yang memuncak akan perubahan kearah perbaikan dan kesejahteraan, kediktatoran dan patriomornialisme kekuasaan hanya berakibat penindasan dan kezhaliman, pengabaian hak-hak ummat dan keterbelengguan.

Disaat Ummat Islam masih berkutat dengan masalah internal yang tak pernah selesai (lihatlah Sudan yang masih dilanda konflik perang saudara, Palestina yang tak kunjung mendapatkan kemerdekaannya, Irak yang terbelenggu hegemoni Amerika, Pakistan yang tak kunjung damai, Indonesia yang tak jua sejahtera) , Amerika dan Barat berpesta pora dalam kemajuan peradaban yang dicapainya, lihatlah tatanan dunia yang hari ini mereka kuasai, baik disektor Ekonomi, Politik, Militer, Budaya, Olah Raga, Kesehatan, Industri, dan hampir disemua sektor kehidupan.

Mengawali awal tahun 2012 ini, harus ada gebrakan nyata yang dilakukan oleh para Mahasiswa Muslim. Gerakan yang tak lagi sekedar aksi dijalanan, aksi yang bukan hanya sekedar menyentuh kulit permasalahan saja, akan tetapi gerakan yang mampu memberikan kontribusi yang riil bagi perubahan ummat kearah yang lebih baik, hingga muslim dimanapun dia berada mereka berani menegakkan kepalanya dihadapan Amerika dan Barat, tanpa merasa malu dengan keadaan negerinya. Mahasiswa muslim memiliki peran dan tanggung jawab intelektualitas, mereka harus mampu memadukan nash dan kondisi realitas kekinian, menginterpretasi dan menerjemahkan teks-teks suci kedalam kontekstualisasi zaman.

Multi spesialisasi dan kompetensi yang dimiliki mahasiswa muslim harus mampu disatukan dalam satu wadah perjuangan dan pergerakan bersama guna membawa mashlahat yang lebih besar bagi ummat, bahkan bukan lagi dalam skup lokal, tapi mendunia (‘alamiah). Saatnya kampus menjawab tantangan zaman ini. Ketika kompetisi sudah menjadi hal yang niscaya, disaat itulah para mahasiswa muslim harus tampil memberikan solusi alternatif bagi kompleksitas permasalahan ummat dan dunia. Harus pula diingat, bahwa kemajuan peradaban yang telah dicapai oleh barat hari ini disatu sisi mengalami ketimpangan yang sangat tragis. Kemajuan industri, modernisasi disegala bidang membutakan mata mereka tentang pentingnya peran spritualitas agama. Akibatnya, agama sudah tak lagi menduduki peran yang penting dan sakral, akan tetapi hanya menjadi unsur pelengkap kehidupan individu-individu mereka. Akibat jauhnya manusia dari agama di Barat, maka terjadilah tragedi kemanusiaan, seperti sifat individualistik yang mengakar, hilangnya spirit kebersamaan, timbulnya penyakit sosial seperti HIV, dan virus-virus kelamin mematikan lainnya, terkikisnya rasa persaudaraan, hubungan seks sesama jenis, bahkan yang terbaru di legalkannya pernikahan sejenis di beberapa negara Barat, dan penyakit kronis lainnya.

Disaat seperti ini Islam harus kembali mengambil perannya sebagai Ustaziyatu al-‘Alam (Sebagai Soko Guru Peradaban Dunia), Islam harus tampil dalam misi universalitas ajarannya, kasih sayang, perdamaian, dan al-Ishlah (memeperbaiki), semuanya dibingkai dalam ilmu pengetahuan, ajaran cinta kasih, dan persaudaraan (al-Ukhuwah). Semoga mahasiswa muslim di kampus-kampus di Indonesia dan di belahan dunia lainnya harus mampu mengambil peranan ini dan tentunya secara perlahan-lahan (graduall) mengambil alih peran mengayomi dan memakmurkan dunia dengan nilai-nilai dan semangat Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin... Semoga



*Ketua Himpunan Mahasiswa Pasca Sarjana Riau Yogyakarta (HMPRY) 2012-2013

Apakah Kita Butuh Negara?


picture : kaskus.com

Era globalisasi hari ini memaksa setiap negara agar memperjelas sistem kenegaraan dan ketata negaraannya. Hal ini dimaksudkan agar setiap negara memiliki corak dan kepastian akan hal-hal yang pokok (dharuriyat) bagi setiap warga negaranya. Sebagaimana juga negara itu terbentuk karena suatu komunitas sosial ( social community) yang berbaur dan merasakan kebutuhan akan suatu sistem atur yang mampu menciptakan keteraturan dan kepastian dalam semua aspek dan lini kehidupan. Lihatlah teori-teori klasik yang tercermin dari pemikiran ahli dan pakar negara seperti Aristoteles, Plato, Montesque, Thomas Hobbes, Ibnu Khaldun dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah apabila keberadaan sebuah negara tak lagi mampu menciptakan keteraturan yang mengikat seluruh rakyatnya dan tak mampu berperan mandiri dalam membuat kebijakan dan undang-undang, apakah hari ini kita masih membutuhkan negara?

Pasca lengsernya presiden Soeharto tahun 1998 dan jatuhnya rezim orde baru, maka sistem pemerintahan di Indonesia berubah dari sistem otoriter menjadi era reformasi. walau sampai hari ini reformasi belum juga menemukan format idealnya. Pada tahun 1999 pula bergemalah gaung demokrasi sebagai tatanan baru dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia. Demokrasi sebagai pengejewantahan dari pemerintahan rakyat akhirnya melahirkan kebebasan seluruh rakyat Indonesia untuk berpendapat, mendirikan perkumpulan dan partai politik. Maka berdirilah sekian banyak organisasi, lembaga dan partai politik yang dulu dimasa orde baru dikekang dan dibatasi. Eforia kebebasan menyampaikan pendapat dalam bingkai partisipasi politik akhirnya melahirkan kebebasan tiada kontrol (kebebasan yang kebablasan). Akhirnya buah dari reformasi dan demokrasi adalah pemerintah dan negara tak lagi menjadi sesuatu yang sakral dan sakti, akan tetapi hanya menjadi simbol dan formalitas belaka.

Terkikisnya Peran Negara

Lambat laun seiring dengan iklim globalisasi dan canggihnya teknologi di era ini akhirnya semakin membuat jarak yang jauh antara negara dan rakyat. Bandingkan dengan dahulu ketika negara memainkan peranan vital dalam mengatur rakyatnya. Sekarang rakyat dalam tanda kutip tak lagi membutuhkan peran pemerintah dalam mengatur urusan pokoknya. Peran pemerintah hanya sebatas peran-peran formal dalam lingkup masyarakat. Masyarakat membutuhkan negara hanya ketika membutuhkan hal-hal formal seperti pengadaan identitas (KTP, KK,surat nikah, Passport, dll), akan tetapi hampir dalam semua aspek kehidupan, masyarakat tak lagi membutuhkan peran negara. Hal ini sebenarnya adalah buah dari prilaku pemerintah yang tak lagi peduli terhadap rakyatnya. Bagaimana tidak, pemerintah boleh dikatakan gagal dalam menjamin hak-hak prinsipil setiap warga negaranya. Lihatlah angka kematian akibat kelaparan yang semakin tinggi, jumlah anak-anak yang tidak bersekolah yang peningkatannya semakin drastis dari hari kehari, ketiadaan jaminan pokok dan sosial inilah yang mengakibatkan merosotnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya. Hingga lambat laun mereka tak lagi membutuhkan pemerintah dan negaranya. Bisa dikatakan pemerintah mengkhianati amanah UUD 1945 yang mengharuskan negara memanfaatkan kekayaan sumber daya alam Indonesia untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya.

Akibat Dari Penerapan Sistem Kapitalis-Liberalis

Data terakhir mengatakan bahwa lebih dari 51 % peredaran uang di pengaruhi oleh pasar (market) dan sisanya baru dikendalikan oleh negara. Bayangkan, besarnya pengaruh dan dominasi pasar terhadap perekonomian bangsa. Yang dikhawatirkan adalah pasar (market) hari ini di setting oleh kepentingan pemilik modal yang nota bene didominasi penganut paham kapital-liberal. Mungkin inilah jawabannya mengapa industri kecil dan menengah (UKK-UKM) sampai hari ini tak mampu bertahan dalam kompetisi ekonomi di republik ini. Keberadaan pemerintah seharusnya mampu mengatur regulasi dan peraturan disektor ekonomi agar rakyat kecil mampu bertahan dan mengembangkan usahanya. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, peraturan dan regulasi yang dihasilkan oleh pemerintah berpihak kepada kepentingan pemilik modal (pengusaha) sehingga mematikan kreasi dan inovasi pengusaha kecil dan pribumi untuk bertahan dan berkembang. Timbullah kebijakan ala kolonial dari pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, penggusuran pedagang kaki lima dimana-mana, pendirian mal-mal dan pusat perbelanjaan raksasa (gient) yang akhirnya memaksa para pedagang kecil untuk gulung tikar.

Eksploitasi dan pengerukan sumber daya alam secara buas dan ganas semakin menambah jurang pemisah antara negara dan rakyatnya. Freeport di Papua misalnya, gunung emas yang ditemukan ternyata tak mampu diambil manfaatnya secara bijak oleh pemerintah. Akhirnya Amerika dengan hegemoni dan prinsip kapitalistiknya memaksa pemerintah kita untuk tunduk dibawah bayang-bayang dan pengaruhnya. Akhirnya masyarakat Papua hanya mampu mengelus dada melihat kekayaan alamnya di ambil secara paksa dengan pembagian hasil yang sangat tidak sepadan. Akhirnya Papua terus bergolak menuntut hak nya. Belum lagi keberadaan perusahaan-perusahaan raksasa kapitalis semakin menambah rusaknya eko -sistem alam Indonesia. Lihatlah Kalimantan dan Sumatera, lebih dari separuh hutannya gundul karena dieksploitasi secara gegabah dan membabi buta. Lagi-lagi rakyat tak mendapatkan buah dari kekayaan alamnya. Pembangunan yang selama ini di janjikan hanya sekedar mimpi belaka. Yang miskin semakin miskin dan si kaya semakin menumpuk kekayaannya tanpa batas. Budaya korupsi para pejabat pemerintah yang semakin menggurita, ditambah kolusi dan nepotisme yang meraja lela semakin menambah apatisme rakyat terhadap penguasa. Kalau sudah begini, apakah kita masih membutuhkan negara?

*Penulis lahir di Siak ,Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Pasca Sarjana

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Garansi Transportasi Massa, Oleh dan Milik Siapa?


Oleh : M. Syafaat


picture:okezone.com

Masyarakat Indonesia menjadi miris menyaksikan serentetan peristiwa kecelakaan yang menimpa transportasi massa, baik darat, laut maupun udara sebulan belakangan ini. Masih belum terhapus dari ingatan kita mengenai tragedi kecelakaan berulang-ulang di sepanjang ruas jalan Tol Cipularang. Kecelakaan kembali terjadi pada sejumlah kapal motor di beberapa perairan Nusantara. Kapal motor Kirana IX terbakar di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, sejumlah penumpang tewas terinjak-injak di tengah kepanikan. Tidak berhenti sampai di laut saja, yang paling baru adalah kecelakaan sebuah pesawat Cassa 212 milik penerbangan Nusantara Buana Air (NBA) yang hilang dan jatuh di sekitar Bukit Barisan wilayah Bahorok, Langkat Sumut.

Insiden ini jelas menampar “roadmap to zero accident” yang pernah digelorakan pemerintah dan Kementerian Perhubungan. Pemerintah belum serius – untuk tidak mengatakan gagal – memberikan service dalam menyediakan transportasi yang nyaman dan aman bagi masyarakat. Bukan berupaya mengevaluasi secara total penyebabnya, melainkan hanya menunjukkan rasa empati, prihatin, dan menyesalkan yang sifatnya hanya seremonial ala pejabat belaka.

Pada saat yang sama, masyarakat semakin dikerenyutkan dahinya ketika menyaksikan sejumlah pejabat tinggi menaiki kendaraan mewah dengan sejumlah pengawalan ketat. Dengan dalih kunjungan dinas atau studi banding, miliaran rupiah dengan mudah digelontorkan untuk memberikan fasilitas mobil dinas yang mewah kepada para pejabat negara. Belum lagi untuk fasilitas biaya bahan bakar tiap harinya, pemeliharaan, service, spare-parts, gaji sopir dan lain sebagainya yang pasti juga serba mewah dan seluruhnya ditanggung oleh uang rakyat. Singkatnya, kebijakan anggaran untuk transportasi masih memihak kepada kaum pejabat elite di negeri ini.

Kenyataan kontradiktif ini jelas sangat menciderai rasa keadilan masyarakat. Bukan transportasi yang mewah yang dibutuhkan masyarakat, melainkan jaminan keselamatan dan keamanan ketika ber-transportasi. Meskipun menyelamatkan nyawa penting, akan tetapi menghindarkan dari terjadinya kecelakaan itu jauh lebih penting. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sejauh mana keseriusan pemerintah bersama Kementerian Perhubungan dalam menangani masalah transportasi massa ini? Lebih konkritnya lagi, siapa yang berkewajiban untuk memberikan garansi dan diperuntukkan kepada siapa?


Akar Masalah, Sebab atau Akibat

Tragedi kecelakaan transportasi di tanah air ini seperti gulungan bola salju yang menggelinding dan tidak tahu kapan serta di mana akan berhenti. Sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa bencana transportasi adalah akibat dari ketidakberpihakan pemerintah kepada warga negaranya dalam menyediakan angkutan publik. Kepekaan sosial para pemangku jabatan tergadai oleh logika kapitalistik yang mengutamakan untung-rugi. Alokasi anggaran untuk pengadaan jenis, perbaikan alat, sarana dan prasarana angkutan adalah proyek yang saling diperebutkan oleh pihak yang berkepentingan meraup keuntungan. Tak pelak kenyataan ini berimplikasi pada ketidakjelasan standarisasi kelayakan transportasi. Banyak alat dan sarana transportasi yang sebenarnya sudah dalam kondisi tidak layak masih dipaksa beroperasi.

Di sisi lain, kesadaran (consciousness) masyarakat untuk mematuhi regulasi masih rendah, sehingga mengakibatkan terjadi banyak pelanggaran. Banyak regulasi dan sistem manajemen keselamatan (safety management system) dimanipulasi untuk memenuhi kompetensi dan standar layak operasi. Manipulasi terhadap syarat-syarat administrasi dan dokumen serta pelanggaran jumlah muatan masih menjadi pemandangan umum. Selain itu, sistem komunikasi dan laporan BMG yang mampu mendeteksi sejak dini mengenai baik buruknya kondisi cuaca belum juga bisa difungsikan secara optimal, sehingga faktor alam masih menjadi argumen klasik terjadinya bencana kecelakaan.

Kondisi ini diperparah dengan minimnya pengawasan sebagai fungsi kontrol di lapangan dari pihak-pihak atau instansi terkait. Buruknya sistem manajemen perusahaan pemilik jasa transportasi. Lebih lagi dalam hal penegakan hukum terhadap pelanggaran, penanganannya selama ini masih bersifat administratif dan dokumentatif, dimana proses terapinya masih jauh menyentuh akar persoalan. Tak dapat dipungkiri bahwa dari sinilah akar dari accidental damage transportasi massa ini berawal. Jangankan berani memberikan garansi keselamatan, untuk menangani bencana saja pemerintah masih terlihat reaktif dan gagap.


Safety Sebagai Harga Mati

Ikhtiar dari pemerintah dalam menangani bencana transportasi bukan sama sekali tidak memiliki arti positif. Jauh lebih penting adalah bagaimana merubah paradigma, mind set cara kita berbangsa dan bernegara. Pemerintah mulai dari jabatan tertinggi sampai terendah adalah pejabat publik yang dipilih rakyat, dibayar untuk mewakili dan mengurusi kepentingan serta kebutuhan rakyat. Oleh karena jabatan adalah amanah, maka pejabat bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani setiap kebutuhan dari pemberi amanah. Begitu pula dalam konteks transportasi, pejabat tidak selayaknya diberikan kendaraan mewah, sementara kondisi transportasi rakyat masih jauh dari rasa nyaman dan aman. Logika ini penting untuk mempengaruhi kebijakan layanan transportasi massa agar lebih memihak kepada rakyat banyak.

Tak kalah penting adalah perlunya menumbuhkan kesadaran (consciousness) masyarakat akan pentingnya keselamatan (safety) ketika bertransportasi. Kesadaran inilah yang akan menggiring kepada terbentuknya sikap untuk taat dan patuh terhadap aturan (regulasi) yang ada, tidak melanggar, memanipulasi SOP (Standar Operational Procedure) yang sudah ditetapkan. Agenda inilah yang mendesak untuk dilakukan – selain masalah teknis yang lain – sebagai upaya perlindungan terhadap keselamatan bersama. Jika agenda ini dilakukan niscaya akan terjawab garansi transportasi massa diberikan oleh siapa dan diperuntukkan kepada siapa.



* Analis Studi Politik dan Pemerintahan Islam Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Anggota Himpunan Mahasiswa Pasca Sarjana Riau Yogyakarta